Legenda Ciung Wanara (Cerita rakyat Pasundan)
Syahdan, dahulu kala berdiri
sebuah Kerajaan di Tatar pasundan Jawa barat yang bernama kerajaan Galuh. Pada
masa itu raja yang memegang tampuk kepemimpinan bernama Raden Barma Wijaya
Kusumah. Sang raja memiliki dua orang permaisuri. Yang pertama bernama Nyimas Dewi Naganingrum
dan yang kedua bernama Nyimas Dewi Pangrenyep. Dan pada waktu itu kedua
permaisuri tersebut sedang dalam keadaan mengandung.
Hingga tibalah saat melahirkan,
Dewi pangrenyep melahirkan terlebih dahulu. Dari rahimnya lahirlah seorang bayi
laki-laki yang sangat lucu dan tampan, yang kemudian diberi nama Hariangbanga.
Tidak lama berselang tibalah saatnya Dewi Naganingrumpun melahirkan, pada saat
Dewi Naganingrum melahirkan yang bertindak sebagai bidan(Paraji_Sunda) adalah Dewi
Pangrenyep. Dari rahim Dewi Naganingrumpun lahirlah seorang bayi laki-laki yang
tak kalah lucu dan tampan.
Entah iblis apa yang merasuki
Dewi pangrenyep, ternyata dibalik kesediaannya dan kebaikannya mau membantu
menolong persalinan kepada Dewi Naganingrum itu terselip rencana jahat dan
sangat keji. Ternyata selama ini Dewi Pangrenyep tidak menginginkan seorang
istri pesaing bagi dirinya, karena jika ada permaisuri lain maka kelak takhta
kerajaan pun akan terbagi menjadi dua dan itu sangat tidak di inginkannya. Niat
busuknya sudah disusun dan disiapkan sejak lama, agar semua berjalan sesuai
dengan apa yang di inginkannya.
Pangrenyep ingin Dewi Nganingrum
terbuang dari Istana, terusir secara hina dan nista, dan terpisah jauh dari
anaknya, “...hhhmmmm rasakan bagaimana sakit dan pedihnya kau terpisah dari
anakmu dan terusir dari kerataon dengan hina...!”. Bisik hati jahat Pangrenyep, sambil terus
berusaha membantu proses persalinan Dewi Naganingrum, karena memang ini saat yang
ditunggu-tunggunya untuk melancarkan aksi jahat dan busuknya tersebut.
Tanpa
sepengetahuan Dewi Naganingrum, bayi laki-lakinya yang lucu dan tampan itu
telah ditukarnya dengan seekor anak anjing, sedangkan bayi yang sebenarnya
telah dimasukannya kedalam sebuah keranjang dengan disertakan sebutir telur
ayam, lalu bayi dalam keranjang itu dihanyutkannya kesungai Citanduy.
Sementara
dikeraton kerajaan telah terjadi kehebohan, kabar yang sangat-sangat mengejutkan
diluar dugaan semua orang yang ada dikeraton Galuh. Apalagi bagi seorang Raja
kabar ini adalah kabar yang telah menodai nama besarnya dan menghancurkan harga
dirinya sebagai raja. Bagaimana tidak Dewi Naganingrum yang selama ini
dicintainya dan di kasihinya telah melahirkan seekor anak anjing!!!. Sungguh
hina nista dan tercela !.
Dalam
keadaan murka Raja memanggil Ki Lengser (Penasehat raja), tetapi kali ini bukan
untuk meminta nasehat ! melainkan memerintahkan kepada Lengser agar Dewi
Naganingrum segera dibunuh dan dibuang mayatnya ke tempat yang jauh.”Aku tidak
mau tahu seperti apa dan bagaimana caranya! yang pasti bunuh Naganingrum keparat
itu dan buang mayatnya ditempat yang jauh tanpa diketahui oleh
siapapun!...mengerti???!”. Perintah Raden Barma Wijaya Kusumah dengan nada
membentak dan wajah yang merah padam. “Ba...bbaaaik...segera saya laksanakan
kanjeng Prabu!”. Ki Lengser tak punya pilihan dan tak ada waktu untuk mengajak
berbicara lebih tenang dan manusiawi kepada rajanya, tanpa pikir panjang Ki
Lengserpun segera pamitan dari hadapan rajanya untuk segera menjalankan
tugasnya. Dengan hati yang sangat pilu dan miris Ki Lengser tak bisa berbuat
banyak selain mengajak Dewi Naganingrum yang baru saja selesai melahirkan untuk
segera keluar meninggalkan istana Galuh.
Sepanjang
perjalanan Ki Lengser berpikir keras, untuk menyelamatkan nyawa Dewi Naganingrum,
karena dia yakin semua peristiwa yang terjadi adalah hasil rekayasa”Tidak
mungkin dan tidak masuk akal mana bisa manusia melahirkan binatang, apalagi
seekor anjing!”, gumamnya dalam hati. Walaupun perjalanan lama dan jauh
sepanjang jalan Ki Lengser tidak berani
mengajak berbicara kepada junjungannya, dia hanya diam dan terus menatap
lurus kedepan. Sementara Dewi Naganingrum yang berada dibelakang dalam sebuah
gerobak kayu yang tertutup, yang sangat tidak layak untuk di isi oleh seorang
permaisuri, sesampainya disebuah hutan belantara akhirnya ki Lengser berhenti. Dan
meminta Dewi Naganingrum untuk ikut turun.
Dibuatkannya
sebuah gubug untuk tempat tinggal bagi Dewi Naganingrum, dengan segala
kelengkapannya meski sangat sederhana. Walaupun dengan hati berat terpaksa Ki
Lengser harus segera meninggalkan junjungannya. Setelah dirasa cukup memberi
nasehat kepada Dewi Naganingrum Ki Lengser berjanji akam menengoknya walaupun
tidak bisa menjanjikan seberapa sering dan seberapa lama. Dewi Naganingrun
hanya bisa pasrah pada Sang Maha Pencipta, dengan segala yang sedang
menimpanya. Tidak mudah memang menerima dan menjalani sebuah peristiwa yang
tiba-tiba saja dan menyakitkan, kini dirinya harus terbuang dari Istana yang
megah yang serba mudah, dan sekarang harus berhadapan dengan kehidupan yang
benar-benar baru dan susah, sendirian tanpa seorang embanpun, jauh dari
khidupan ramai karena berada ditengah hutan belantara. Tetapi Dewi Naganingrum
tidak ingin hanyut dalam kesedihan yang panjang. Ia masih bisa bersyukur
memiliki seorang Lengser yang baik, yang mau menyelamatkan nyawanya. Dihatinya
penuh harap dan cita, suatu hari nanti ia akan bertemu dengan putranya yang
sebenarnya, dan bisa kembali hidup di Istana Galuh bersama keluarganya. Ki
Lengserpun pulang kembali ke keraton Galuh untuk melapor kepada raja bahwa
tugasnya membunuh Dewi Naganingrum telah diselesaikannya dengan baik. Dan untuk
buktinya Ki Lengser telah membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan di
hutan tadi. Sehingga nampak pada senjatanya garis-garis darah kering.
Lain
Dewi Naganingrum lain pula dengan Dewi Pangrenyep. Dia merasa suka cita dengan
usaha dan perbuatan jahatnya melenyapkan Dewi Naganingrum dari keraton, semua
berjalan mulus tanpa ada yang mengetahui selain orang-orang kepercayaannya yang
telah terlibat pada rencana jahat tersebut. Semua yang terlibat bungkam dan
tutup mulut, mulut mereka telah penuh dijejali
dengan hadiah yang tiada terhingga dari Dewi Pangrenyep. Tidak akan ada yang
berani membocorkan rahasianya, selain telah dijejali dengan hadiah yang tiada
terhingga merekapun di ancam barang siapa yang berani buka mulut maka nyawa
akan menjadi bayarannya.
Sementara
ditempat lain, disebuah kampung yang bernama kampung Gegersunten hiduplah
sepasang suami istri yang sudah cukup tua. Tetapi mereka tidak memiliki anak
satu orangpun. Merekalah yang bernama Aki dan Nini Balangantrang. Suatu sore
keduamnya pergi kepinggiran kali Citanduy untuk menengok Babadon (perangkap
ikan) yang sudah mereka pasang sejak pagi buta. Alangkah terkejutnya mereka dan
sekaligus bahagia ketika sampai ditempat mereka memasang Babadon,karena disana
mereka menjumpai sebuah keranjang besar yang berisi seorang bayi laki-laki yang sangat lucu dan tampan,
mungkin inilah jawaban doa yang selama ini mereka panjatkan tanpa lelah. Dengan
segenap suka cita maka dibawanya bayi lucu dan tampan itu kerumah mereka dan
dirawatnya sepenuh cinta dan kasih layaknya mereka merawat anaknya sendiri.
Sedangkan sebutir telur ayam yang disertakan dengan bayi tersebut, telah
dikirimnya oleh Aki Balangantrang kepada se ekor naga yang bernama Nagawiru dan
bersemayam di gunung Padang. Naga ini bukanlah naga sembarangan melainkan
jelmaan seorang dewa, dan sudah menjadi tugasnya untuk mengerami sebutir telur
yang disertakan dengan bayi dari putra Barma Wijaya Kusumah. Yang kelak di kemudian
hari telur itu menetaskan seekor ayam jantan dan menjadi binatang piaraan serta
kesayangan dari si anak bayi yang dihanyutkan.
Waktu
terus berlalu, tanpa terasa bayi itu sudah tumbuh remaja kini, tampan dan elok
rupanya. Dengan penuh ketekunan dan ketelatenan Aki dan Nini Balangantrang
mewariskan semua ilmu kesaktian yang mereka miliki kepada anak angkatnya. Bahkan
Nagawiru sekalipun tidak tinggal diam dia sering mendatangi dan mengajarkan
segala ilmu kesaktian kepada pemuda tampan yang sampai sekarang belum diberi
nama oleh kedua orang tua angkatnya itu. Hingga pada suatu hari Aki
Balangantrang kembali mengajak putranya untuk berburu ke hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Sesampainya
di hutan anak angkat Aki Balangantrang ini melihat seekor monyet yang dia
anggap aneh karena baru melihatnya,”Ki kalau binatang itu apa namanya?” Aki
Balangantrang pun menjawab, “Wanara!”. Kemudian diapun melihat seekor burung
yang baru dijumpainya”kalau burung itu apa namanya Ki?”. Aki Balangantran
menjawab”itu namanya ciung!”. Remaja gagah dan tampan itu terdiam sesaat, lalu
menatap ayah angkatnya”Ki kalau mereka saja punya nama yang bagus, lalu mengapa
saya tidak?, bolehkah aku pakai nama keduanya sebagai namaku?”. Aki
Balangantrang terkesiap, baru disadarinya kalau anaknya itu belum punya nama
yang sebenarnya, selain nama panggilan anak laki-laki pada umumnya. Akhirnya
keduanya sepakat, nama dari kedua satwa itu digunakan sebagai nama anaknya.
Jadilah ia bernama Ciung Wanara.