Alkisah,
di daerah Jawa Barat, tersebutlah seorang raja yang arif dan bijaksana
bernama Prabu Tapa Agung yang bertahta di Kerajaan Pasir Batang. Sang
Prabu mempunyai tujuh orang putri yang semuanya cantik jelita. Mereka
adalah Purbararang (sulung), Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana,
Purbamanik, dan si bungsu, Purbasari. Dari ketujuh putri sang Prabu,
lima di antaranya telah menikah dan menjadi permaisuri di kerajaan lain.
Kini, tinggal Purbararang dan Purbasari yang belum menikah. Namun,
Putri Purbararang sudah mempunyai tunangan yang gagah dan tampan bernama
Raden Indrajaya, putra salah seorang menteri kerajaan.
Dalam
beberapa hari terakhir, Prabu Tapa Agung terlihat sering duduk
termenung seorang diri di atas singgasananya. Sepertinya ada suatu
masalah besar yang membebani pikirannya. Melihat sikap sang Prabu
tersebut, sang permaisuri berusaha menghibur dan membujuknya.
“Kanda! Sudah beberapa hari ini Kanda terlihat murung. Apa yang sedang Kanda pikirkan? Barangkali Dinda dapat membantu,” bujuk permasuri dengan suara lembut.
“Begini, Dinda! Kanda sudah semakin tua. Kanda tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan dengan baik. Kanda berniat turun tahta. Tapi, Kanda bingung, Dinda!” kata Prabu Tapa Agung.
“Bingung kenapa, Kanda?” desak permaisurinya.
Prabu
Tapa Agung pun bercerita kepada permasurinya bahwa dia bingung untuk
memilih di antara dua putrinya, apakah Purbararang atau Purbasari, yang
akan menggantikan kedudukannya. Menurut hukum adat yang berlaku di
kerajaan tersebut, yang pantas untuk menggantikannya adalah Putri
Purbararang, sebab dia putri tertua. Namun, sang Prabu merasa bahwa
putri sulungnya itu belum pantas menjadi seorang ratu, karena sifatnya
yang sombong, angkuh, dan licik. Putri Purbararang juga sering
memutuskan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya terlebih dahulu, sehingga
sering menimbulkan kekacauan. Sang Prabu lebih senang jika putri
bungsunya, Purbasari, yang menggantikan kedudukannya, karena dia seorang
putri yang baik hati, arif, dan bijaksana. Dengan pertimbangan
tersebut, maka sang Prabu dan permaisurinya memutuskan untuk memilih
Purbasari menjadi Ratu.
Mendengar
kabar tersebut, Putri Purbararang pun menolaknya. Ia sangat menyesal
atas keputusan ayahandanya, karena merasa dialah yang lebih berhak untuk
menjadi ratu. Kabar buruk itu kemudian ia sampaikan kepada tunangannya,
Raden Indrajaya.
“Kanda! Ayahandaku telah pilih kasih. Ia lebih memilih Purbasari untuk menjadi ratu, padahal Dinda adalah putri tertua,” lapor Putri Purbararang .
Mendengar kabar tersebut, tunangan Putri Purbararang langsung naik pitam.
“Wah, ini tidak boleh dibiarkan, Dinda? Dindalah yang semestinya menjadi ratu!” seru Raden Indrajaya.
“Apa yang harus kita lakukan, Kanda?” tanya Putri Purbararang.
“Kita harus menyingkirkan adikmu yang tidak tahu diri itu!” seru Indrajaya.
Setelah
bermusyawarah, akhirnya Putri Purbararang dan tunangannya memutuskan
untuk mendatangi seorang dukun sakti yang bernama Ni Ronde. Mereka akan
meminta bantuan dukun itu agar menyihir Putri Purbasari. Ni Ronde pun
mengabulkan permintaan mereka.
Beberapa
hari kemudian, istana Pasir Batang menjadi gempar. Tiba-tiba Putri
Purbasari terserang penyakit aneh. Seluruh tubuhnya terasa sangat gatal
dan dipenuhi bintik-bintik hitam. Betapa terkejutnya sang Prabu melihat
keadaan putri kesayangannya itu. Sudah beberapa tabib istana dipanggil
untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang berhasil menyembuhkannya.
Sementara itu, Putri Purbararang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
itu. Ia pun menghasut ayahandanya agar Putri Purbasari diasingkan ke
tempat yang jauh.
“Ayah! Barangkali inilah akibatnya jika kita tidak menuruti adat hukum yang berlaku di kerajaan ini. Para leluhur telah murka dan mengutuk Putri Purbasari. Jangan-jangan sebentar lagi kerajaan ini juga terkena kutukan!” hasut Putri Purbararang.
Prabu
Tapa Agung pun termakan hasutan putrinya. Akhirnya, dengan berat hati,
ia memutuskan untuk mengasingkan putri bungsunya ke hutan agar kerajaan
terbebas dari kutukan. Putri Purbasari pun menyadari keadaannya dan
menerima keputusan itu dengan lapang dada.
Keesokan
harinya, sang Prabu menyuruh patihnya yang bernama Uwak Batara Lengser
untuk mengantar Putri Purbasari ke hutan. Setelah membuatkan sebuah
pondok untuk Putri Purbasari di hutan, patih yang baik hati itu memberi
nasehat kepada sang Putri untuk menenangkan hatinya.
“Tabahkan hatimu, Tuan Putri! Cobaan ini pasti akan berakhir. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa senantiasa melindungimu. Paman akan sering datang kemari mengantar makanan dan minuman untukmu,” ujar sang Patih.
“Terima kasih, Paman! Nasehat Paman membuat hati Putri menjadi tenang,” ucap Putri Purbasari.
Sejak
itu, Putri Purbasari tinggal seorang diri di tengah hutan. Untuk
menghibur dirinya, setiap pagi ia berjalan-jalan di sekitar pondoknya
untuk melihat-lihat pemandangan dan bersenda gurau bersama hewan-hewan
yang ada di sekitarnya. Tak heran, jika dalam waktu beberapa hari saja,
ia sudah mempunyai banyak teman. Hewan-hewan tersebut sangat baik
kepadanya. Mereka sering membantu sang Putri untuk mencari buah-buahan
di hutan.
Pada
suatu hari, ketika sang Putri sedang bersenda gurau bersama hewan-hewan
di sekitar pondoknya, tiba-tiba ada sepasang mata yang sedang
memerhatikannya tanpa disadarinya. Rupanya, dia adalah seekor lutung
(sejenis kera berbulu hitam). Beberapa saat kemudian, lutung itu
menghampirinya. Alangkah terkejutnya sang Putri ketika melihat lutung
yang berwajah seram itu tiba-tiba berdiri di depannya.
“Ampun, Lutung! Tolong jangan ganggu aku!” teriak Putri Purbasari dengan ketakutan.
“Jangan takut, Tuan Putri! Aku tidak akan mengganggumu,” jawab Lutung itu.
Putri Purbasari pun tersentak kaget, karena lutung itu dapat berbicara seperti manusia.
“Hai, kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Putri Purbasari.
“Aku Guruminda, putra Sunan Ambu dari Kahyangan. Aku telah melakukan kesalahan, sehingga dibuang ke bumi dengan bentuk seperti ini, dan kesasar di tengah hutan ini,” jelas si Lutung.
Mendengar
jawaban itu, hati sang Putri pun menjadi tenang. Tanpa banyak tanya, ia
tersenyum seraya memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya.
Karena merasa senasib, yaitu sama-sama terbuang di hutan itu, akhirnya
mereka pun berteman. Sejak itu, Purbasari memanggil si lutung dengan
panggilan Lutung Kasarung, yang artinya Lutung yang kesasar. Kemana pun
sang Putri pergi, Lutung Kasarung selalu menyertainya. Bahkan, ia sering
memetik buah-buahan untuk sang Putri.
Pada
saat malam bulan purnama, secara diam-diam Lutung Kasarung pergi ke
suatu tempat yang sangat sepi untuk bersemedi. Dalam semedinya ia
memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar menyembuhkan penyakit Putri
Purbasari. Beberapa saat kemudian, doa Lutung Kasarung pun dikabulkan.
Tanah di sekitarnya tiba-tiba menjelma menjadi sebuah telaga kecil.
Airnya sangat jernih, sejuk, harum, dan mengandung obat kulit yang
sangat mujarab. Begitu matahari pagi memancarkan sinarnya di ufuk timur,
ia segera menemui Putri Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga
itu.
“Hai, Tung!” demikian Putri Purbasari memanggil Lutung Kasarung.
“Untuk apa kamu membawaku kemari?” tanyanya.
“Bercebur dan mandilah di telaga ini, Tuan Putri! Niscaya penyakit Tuan Putri akan sembuh, karena air telaga ini mengandung obat kulit yang sangat mujarab,” ujar Lutung Kasarung.
Tanpa
ragu, Putri Purbasari langsung menceburkan diri ke dalam telaga itu.
Sungguh ajaib sekali. Tak lama setelah berendam di telaga itu, seluruh
bintik-bintik hitam di kulitnya langsung hilang tanpa meninggalkan bekas
sedikit pun. Kulitnya kembali bersih, halus dan menjadi cantik seperti
semula. Ia sangat heran bercampur gembira mengalami peristiwa ajaib itu.
“Terima kasih, Tung! Engkau telah menyembuhkan penyakitku,” ucap Putri Purbasari dengan perasaan gembira.
Sejak
itu, Putri Purbasari semakin senang dan sayang kepada si Lutung
Kasarung. Ia pun semakin betah tinggal bersamanya di hutan itu dan
hewan-hewan lainnya. Hatinya sudah menyatu dengan kehidupan alam bebas,
dan melupakan kehidupan istana yang sering membelenggunya, apalagi
dengan keberadaan kakak sulungnya, Purbararang.
Pada
suatu hari, Patih Uwak Batara Lengser datang ke hutan itu untuk melihat
keadaan Putri Purbasari. Betapa terkejutnya ia ketika melihat penyakit
kulit sang Putri telah sembuh. Ia pun kemudian mengajak sang Putri untuk
kembali ke istana.
“Ampun, Tuan Putri! Sesuai dengan pesan sang Prabu, Tuan Putri diminta untuk kembali ke istana,” kata Patih itu menyampaikan pesan sang Prabu.
Mulanya,
Putri Purbasari menolak untuk kembali ke istana. Namun setelah didesak
oleh sang Patih dan dibujuk oleh si Lutung Kasarung, akhirnya ia pun
memenuhi ajakan tersebut.
“Baiklah, Paman! Aku bersedia kembali ke istana, tetapi Lutung Kasarung juga harus ikut. Dialah yang telah menyembuhkan penyakitku,” tegas Putri Purbasari.
“Baiklah, Tuan Putri! Paman kira sang Prabu akan merasa senang jika Tuan Putri mengajak Lutung yang baik hati itu ke istana,” kata Patih itu.
Akhirnya,
Putri Purbasari bersama Patih Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung
kembali ke istana. Setibanya di istana, mereka disambut gembira oleh
seluruh keluarga istana, kecuali Putri Purbararang dan Raden Indrajaya,
karena merasa posisi mereka terancam. Menyadari keadaan itu, ia pun
membujuk ayahandanya agar mengadakan sayembara.
“Ampun, Ayahanda! Nanda keberatan jika Putri Purbasari yang dinobatkan menjadi Ratu. Biar adil, sebaiknya diadakan sayembara. Pemenangnya akan menerima tampuk kerajaan, sedangkan yang kalah akan menerima hukum pancung,” bujuk Putri Purbararang.
Prabu
Tapa Agung yang arif dan bijaksan itu pun mengambulkan permintaan putri
sulungnya. Dalam sayembara tersebut, Putri Purbararang menantang Putri
Purbasari untuk mengikuti dua perlombaan, yaitu lomba memasak dan lomba
panjang rambut. Putri Purbasari pun terpaksa menerima tantangan itu,
karena diminta oleh ayahandanya.
“Jangan khawatir, Tuan Putri! Aku akan menolongmu,” bisik Lutung Kasarung.
“Terima kasih, Lutung!” jawab Putri Purbasari.
Pada
hari yang telah ditentukan, seluruh rakyat Pasir Batang telah berkumpul
di halaman istana ingin menyaksikan sayembara tersebut. Tak berapa lama
kemudian, kedua putri Prabu Tapa Agung tersebut memasuki arena lomba.
Perlombaan pertama adalah lomba memasak. Yang dinilai dalam lomba ini
adalah masakan siapa yang paling cepat disajikan dan lezat rasanya, maka
dialah pemenangnya.
Ketika
semua bahan-bahan dan perlengkapan memasak telah disiapkan, wasit pun
memukul gong sebagai tanda perlombaan dimulai. Putri Purbararang pun
segera meracik bumbu-bumbu yang telah disediakan dengan lincahnya. Ia
dibantu oleh puluhan pelayan istana, sedangkan Putri Purbasari hanya
ditemani oleh Lutung Kasarung. Dalam waktu tidak beberapa lama, Putri
Purbararang hampir menyelesaikan masakannya. Putri Purbasari pun mulai
panik. Melihat hal itu, Lutung Kasarung segera mengeluarkan
kesaktiannya. Ia segera memanggil para bidadari di kayangan agar turun
ke bumi untuk membantu Purbasari tanpa diketahui oleh seorang pun.
Berkat bantuan para bidadari tersebut, Putri Purbasari mampu
menyelesaikan masakannya terlebih dulu dan rasanya pun lebih lezat. Ia
pun dinyatakan sebagai pemenang dalam lomba memasak tersebut.
Memasuki
perlombaan kedua, yaitu lomba adu panjang rambut, Putri Purbararang
merasa tidak mau kalah lagi oleh adiknya. Dengan penuh percaya diri, ia
segera melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam dan lebat pun terurai
hingga ke pertengahan betisnya.
“Ayo, Purbasari! Lepaslah sanggulmu! Kali ini kamu tidak akan mampu mengalahkanku,” seru Putri Purbararang dengan angkuhnya.
Mendengar
seruan itu, Putri Purbasari hanya terdiam sambil menunduk. Dia merasa
kurang percaya diri, karena rambutnya hanya sebatas punggungnya.
“Kenapa diam saja, wahai Tuan Putri?” tanya Lutung Kasarung yang berdiri di dekatnya dengan nada pelan.
“Tung! Kali ini aku pasti kalah, rambutku lebih pendek. Hanya sampai di punggungku,” bisik Purbasari.
“Tenang, Tuan Putri! Aku akan memanggil bidadari untuk menyambung rambutmu,” kata Lutung Kasarung.
Sesaat
setelah Lutung Kasarung bersemedi, datanglah para bidadari menyambung
rambut Purbasari tanpa sepengetahuan Purbararang dan para penonton.
Ketika Purbasari melepas sanggulnya, maka terurailah rambutnya yang
hitam berkilau, halus bagaikan sutra, serta bergelombang hingga ke
tumitnya. Melihat hal itu, Purbararang pun menjadi malu dan merasa
terpukul, karena kembali dikalahkan oleh adiknya. Namun, ia tidak
kehabisan akal. Ia kembali membujuk ayahandanya agar diadakan satu
perlombaan lagi, yaitu lomba ketampanan calon suami atau tunangan
masing-masing.
“Jika Purbasari masih mampu mengalahkanku dalam perlombaan ini, maka aku akan menerima kekalahan ini dan bersedia untuk dipancung,” kata Purbararang di hadapan para hadirin.
Mulanya,
Prabu Tapa Agung ragu untuk memenuhi keinginan Purbararang, karena
Purbasari belum mempunyai tunangan. Jika pun pada saat itu ia
ditunangkan dengan siapa pun di negeri itu, tetap tidak seorang pun yang
melebihi ketampanan Indrajaya. Meski demikian, Purbasari tetap bersedia
mengikuti lomba tersebut dan sang Prabu pun menyetujuinya.
Perlombaan
pun dimulai. Dengan bangga, Putri Purbararang kembali masuk ke arena
perlombaan sambil menggandeng tangan tunangannya.
“Wahai seluruh rakyat Pasir Batang! Saksikanlah ketampanan dan kegagahan tunanganku, Indrajaya! Akulah yang akan menjadi Ratu negeri ini, karena tak seorang pun yang mampu mengalahkan ketampanan tunanganku ini!” seru Putri Purbararang dengan angkuhnya.
Seluruh
hadirin pun mengakui bahwa Indrajaya adalah seorang pemuda yang tampan.
Tak seorang pemuda pun di Negeri Pasir Batang yang melebihi
ketampanannnya. Mereka sudah memastikan bahwa Putri Purbasari akan kalah
dalam perlombaan tersebut. Anehnya lagi, ketika diminta untuk
menunjukkan calon suaminya, Putri Purbasari justru menarik tangan Lutung
Kasarung masuk ke arena perlombaan.
“Inilah calon suamiku!” seru Putri Purbasari dengan bangga.
“Ya, ini calon suamiku!” serunya sekali lagi.
Purbararang dan suaminya pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah adiknya.
“Hai, Purbasari! Apakah tidak ada lagi calon suami yang lebih jelek dari Lutung itu?” seru Purbararang dengan nada mengejek.
Mendengar
ejekan itu, Lutung Kasarung pun menjadi tersinggung dan marah. Ia tidak
terima Putri Purbasari dipandang rendah seperti itu. Maka dengan
kesaktiannya, ia segera memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar
bentuknya dikembalikan seperti semula. Seketika itu pula, Lutung
Kasarung pun berubah menjadi Guruminda yang sangat tampan dan gagah.
Semua yang hadir terperangah dan terpesona melihat ketampanannya.
Akhirnya,
Putri Purbasari memenangi sayembara tersebut dan berhak menduduki tahta
kerajaan. Sementara Putri Purbararang dan tunangannya harus menerima
hukuman pancung atas kekalahan mereka. Namun, Putri Purbasari adalah
seorang putri yang pemaaf, ia tidak menghukum kakak kandungnya sendiri.
Bahkan, ia tetap mengijinkan kakaknya untuk tetap tinggal di istana
bersamanya. Akhirnya, Putri Purbasari pun dinobatkan menjadi Ratu
Kerajaan Pasir Batang. Ia adalah seorang Ratu yang arif dan bijaksana,
sehingga seluruh rakyatnya senantiasa hidup makmur, damai, dan sentosa.
* * *
Demikian cerita Lutung Kasarung
dari Jawa Barat, Indonesia. Cerita di atas merupakan cerita pantun yang
mengandung nilai-nilai moral. Setidaknya ada dua nilai moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk dari sifat suka
memandang rendah orang lain, dan keutamaan sifat pemaaf dan tidak
pendendam. Pertama, sifat suka merendahkan orang lain ini
ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Putri Purbararang. Hal ini terlihat
ketika ia menantang Putri Purbasari untuk mengadakan sayembara perebutan
tahta kerajaan, karena ia yakin bahwa adik bungsunya itu tidak mampu
berbuat apa-apa. Namun, tanpa diduganya, ternyata Purbasari mampu
mengalahkannya berkat bantuan Lutung Kasarung. Akibatnya, ia pun
mendapat ancaman hukum pancung. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran
bahwa hendaknya kita tidak memandang rendah orang lain, karena
terkadang ada sesuatu yang tidak kita ketahui tentang orang tersebut
No comments:
Post a Comment