Sunday, 27 December 2015

Cerita Legenda Ki Rangga Gading

Dahulu kala, ketika Tasik masih merupakan “dayeuh” (kota) Su­ka­pura, ada seorang bernama Ki Rangga Gading. Ia sangat sakti. Tapi ke­saktia­nnya disalahgunakan untuk me­ram­pok dan mencuri. Ki Rangga Gading tidak pernah tertangkap, karena ia bisa meng­ubah badannya menjadi binatang, pohon, batu, atau air.

Suatu ketika, Ki Rangga Gading men­curi kerbau lima ekor. Pencurian itu senga­­­ja di­la­­kukan di siang hari untuk pamer ke­­­saktian. Warga sekampung pun beramai-ramai memburunya. Karena ketinggian ilmu Ki Rangga Gading, ia mengubah kaki-kaki kerbau menjadi terbalik, sehing­ga je­­jak telapak kaki kerbau berlawanan a­rah. War­ga yang mengikuti jejak itu tertipu. Me­re­ka semakin menjauh dari kerbau-kerbau itu.
Warga memutuskan mengejar ke pa­sar. Sebab Ki Rangga Gading pasti akan menjual kerbau itu ke pasar. Tetapi dasar Ki Rangga Gading, ia mengubah tanduk ker­­­bau yang tadinya melengkung ke atas menjadi ke bawah. Kulit kerbaunya yang tadi­nya hitam diubah menjadi putih. Maka, se­lamat­lah ia dari kejaran massa dan polisi negara yang akan menangkapnya.
Tersiar kabar, di Karangmunggal ter­­dapat tanah keramat. Tanah itu me­ngan­­dung emas. Lahan itu dijaga oleh polisi ne­gara dan para tua-tua kampung agar tidak diganggu. Mendengar kabar itu, Ki Rangga Gading jadi tergiur ingin memilikinya. Ia segera naik ke atas pohon kelapa. Setelah sampai di atas, dibacoknya pelepah kela­pa yang diinjaknya. Dengan ilmunya, pe­le­pah itu terbang melayang menuju Ka­rangmunggal.
Sampai di Karangmunggal, Ki Rangga Gading mengubah dirinya menjadi seekor kucing agar tidak diketahui oleh polisi ne­gara dan tua-tua kampung. Tentu saja para penjaga tertipu. Kucing jelmaan Ki Rangga Gading itu tenang-tenang saja me­ngeruki tanah yang mengandung emas itu. Kemudian dimasukkan ke dalam karung yang dibawanya. Setelah karungnya ter­isi penuh, Ki Rangga Gading segera ter­bang menggunakan pelepah yang tadi ditungganginya menuju ke kampung tem­pat persembunyiannya.
Sebelum tiba di kampungnya, ia tu­run ingin berjalan kaki. Di tempat yang sepi, ia istirahat sambil membuka hasil curi­an­nya. Lalu ia mengambil segenggam dan ditaburkan supaya tempat itu menjadi keramat. Sampai saat ini tempat itu dikenal dengan nama Salawu, berasal dari kata sarawu (segenggam).
Kemudian Ki Rangga Gading melanjut­kan perjalanan. Saat merasa lelah, ia ber­istirahat. Karung yang berisi tanah emas digantungkan pada dahan pohon. Sampai sekarang tempat itu terkenal dengan nama Kampung Karanggantungan terletak di Kecamatan Salawu. Nama itu berasal dari kata tanah Karangmunggal digantungkan.
Ki Rangga Gading melanjutkan per­jalanan lagi. Setelah lama berjalan, ia mu­lai banyak berkeringat. Ia berhenti untuk mandi dulu di suatu mata air. Karung yang dibawa­nya digantungkan lagi. Tapi karung itu berayun-ayun terus (guntal-gantel) tak mau diam. Sampai sekarang kampung itu dikenal dengan nama Kampung Guntal Gantel.
Ketika Ki Rangga Gading sedang asyik mandi, tiba-tiba di hadapannya telah ber­diri seorang tua. Wajahnya bercahaya dan menggunakan sorban serta jubah pu­tih, ia seorang ulama yang tinggi ilmunya. Sambil tersenyum orang tua itu berkata, “Sedang apa Rangga Gading, tiduran di atas tanah sambil telanjang, seperti anak ke­cil saja?” Ki Rangga Gading terkejut, Ia sa­ngat malu dan mendadak badannya merasa lemas tak berdaya. Ia memelas, “Duh Eyang ampun, tolonglah saya Eyang, saya lemas, tidak tahan Eyang, saya tobat, saya ingin jadi murid Eyang.” Sejak saat itu Ki Rangga Gading menjadi santri di Pesantren Guntal Gantel.
Pada suatu ketika, Pesantren Guntal-Gantel tertimbun tanah longsor akibat gempa bumi. Waktu itu, ulama dan santri-san­trinya sedang tilem (tidur). Konon, me­­­re­ka men­jadi kodok. Sebab itu tempat ter­­se­­but sa­ngat angker, dan dinamakan “Bang­­kong­rarang” berasal dari kata ta­nah yang di­­bawa dari karang dan loba bangkong (banyak katak).
Sampai saat ini “Bangkongrarang” dan “Guntal Gantel” masih ada, tetapi hanya berupa tumpukan pasir di tengah sawah yang luas. Barang siapa berani masuk dan menginjak lahan itu akan merasakan akibatnya. Bila ada burung terbang melin­tasi lahan itu, ia akan jatuh dan mati se­ke­tika. Bila bulan puasa tiba, di tengah mal­am saatnya sahur, sering terdengar sayup-sayup dari tempat itu bunyi beduk. Jangan heran sebab itu adalah suara beduk santri-santri dari Pesantren Guntal-Gantel yang tilem dan dipimpin oleh Ki Rangga Gading.

No comments:

Post a Comment